Pasca kemenangan Revolusi Islam Iran hingga hari ini, hubungan Republik Islam Iran dan Arab Saudi mengalami pasang surut.
Pasca pembantaian para jemaah haji Iran oleh rezim Al Saud pada 31 Juli 1987 dan terjadinya peristiwa Jumat Berdarah Mekah, hubungan Iran dan Arab Saudi berada pada tingkat paling rendah.
Tanggal 28 April 1988, Amerika perintah Arab Saudi agar memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran.
Jumlah diplomat Iran yang berada di Arab Saudi sangat sedikit, sementara anggota kedutaan besar Saudi di Iran sudah sejak lama meninggalkan Tehran. Akhirnya, hubungan politik kedua negara benar-benar terputus pada 8 Ordibehesht 1367 HS, bahkan pengiriman jamaah haji ke Mekah dan Madinah terputus untuk beberapa tahun.
Namun di masa kepresidenan Hashemi Rafsanjani dan Mohammad Khatami hubungan Tehran-Riyadh perlahan-lahan membaik, tetapi kemudian mengalami penurunan di masa kepresidenan Mahmoud Ahmadinejad.
Pada tahun 2016, hubungan Republik Islam Iran dan Kerajaan Arab Saudi terputus kembali setelah pemerintah Riyadh menjatuhkan hukuman mati terhadap Syeikh Nimr Baqir Al-Nimr yang menyulut sebagian warga Iran yang terprovokasi menyerang Kedutaan Besar Arab Saudi di Tehran.
Di tahun 2021, Irak berusaha menjadi mediator bagi perundingan antara Iran dan Arab Saudi. Dengan mediasi Irak, perundingan bahkan mencapai putaran kelima di tahun 2022, di mana kedua negara berusaha mencapai peta jalan hubungan bilateral.
Akhirnya, pada 10 Maret 2023, Iran dan Arab Saudi mencapai kesepakatan dengan mediasi Cina untuk merekonsiliasi hubungan diplomatik kedua negara. Dan kemudian ditindaklanjuti dengan pertemuan Menteri Luar Negeri Iran dan Arab Saudi di Cape Town pada 3 Juni 2023 yang membicarakan kesiapan kedua negara untuk membuka kedutaan besarnya di masing-masing negara.
Dan pada 6 Juni 2023, Iran membuka kembali kedutaan besarnya di Riyadh yang menandai keseriusan kedua negara untuk menjalin kembali hubungan politik dan diplomatik yang terputus selama 7 tahun.