Menurut editorial investigasi Press TV, selama beberapa minggu terakhir, beberapa aktivitas multilateral telah disaksikan terkait potensi kembalinya Amerika Serikat ke kesepakatan nuklir yang ditandatangani pada 2015.
Sekalipun demikian, tampaknya belum sampai pada kebuntuan.
Pihak Eropa dalam kesepakatan nuklir JCPOA (Rencana Aksi Bersama Komprehensif) ingin menengahi antara AS dan Iran untuk bertukar pesan antara keduanya.
Menurut ulasan dalam editorial tersebut, Tehran, bagaimanapun, tidak menganggap Eropa dapat dipercaya dan ingin bertukar pesan dengan Washington melalui Kedutaan Besar Swiss.
Eropa menganggap penghentian pengayaan uranium 20 persen oleh Iran hanya sebagai langkah kecil, sementara menafsirkan penghapusan sanksi minyak era Donald Trump sebagai "tindakan yang sulit".
Mekanisme "selangkah demi selangkah" yang sudah diusulkan untuk kebuntuan JCPOA telah ditolak oleh Republik Islam karena AS gagal mencairkan aset luar negeri Iran dan menghapus semua sanksi yang dijatuhkannya pada negara tersebut.
Pemimpin Besar Revolusi Islam Ayatullah al-Udzma Sayid Ali Khameni telah berulang kali menekankan bahwa AS tidak terburu-buru untuk kembali ke JCPOA dan Washington harus menghapus semua sanksi dalam tindakan.
Menyusul penarikan sepihak AS dari JCPOA pada 2018, dan pemberlakuan "sanksi terberat" terhadap Iran, negara itu mundur dari kepatuhan penuh terhadap kesepakatan nuklir 2015. (SL)