Kudeta Amerika-Inggris pada Agustus 1953 (28 Mordad 1332 Hijriyah Syamsiah) di Iran mengingatkan sebuah tindakan bermusuhan dan upaya penggulingan sebuah pemerintahan yang demokratis.
Dokumen kudeta yang sudah dirilis ke publik oleh Dinas Intelijen Pusat AS (CIA) menunjukkan bahwa AS-Inggris secara langsung terlibat dalam aksi makar itu.
Kudeta 28 Mordad adalah sebuah bukti yang memperlihatkan upaya musuh untuk memisahkan rakyat Iran dari Revolusi Islam melalui berbagai konspirasi. Meski melakukan segala upaya, namun musuh gagal untuk merusak pilar-pilar revolusi dan sistem Republik Islam.
Sejak kemenangan Revolusi Islam pada 22 Februari 1979, kekuatan-kekuatan arogan bangkit menentang Republik Islam Iran demi mempertahankan dominasinya di wilayah Timur Tengah (Asia Barat).
Kudeta 28 Mordad dilakukan oleh Dinas Intelijen Pusat AS (CIA) dengan dukungan langsung Dinas Intelijen Inggris (MI6). Kudeta ini bertujuan untuk menggulingkan Perdana Menteri Iran, Mohammad Mosaddegh dan mengembalikan posisi Mohammad Reza Pahlavi sebagai raja Iran.
CIA menggunakan sandi TPAJAX (Operation Ajax) untuk plot penggulingan Mossadegh pada 19 Agustus 1953. Dokumen rahasia CIA menyinggung kehadiran Kermit Roosevelt Jr, salah satu agen seniornya di Timur Tengah di Tehran menjelang pelaksanaan kudeta.
Kudeta ini dimulai dengan embargo minyak sehingga Iran tidak memperoleh pendapatan dari penjualan minyak. Dinas intelijen AS dan Inggris kemudian menjalankan sebuah proyek yang rumit secara bersamaan. Ia terdiri dari beberapa langkah; menggunakan propaganda untuk melemahkan Mossadegh secara politik, mendorong Shah Pahlevi untuk bekerja sama, menyuap anggota parlemen, mengorganisir pasukan keamanan, dan memulai demonstrasi jalanan.
Makar ini dirancang ketika Iran tercatat sebagai salah satu eksportir minyak terbesar di dunia, tetapi industri minyak Iran dikuasai oleh perusahaan minyak Iran-Inggris. Saat itu pemerintah Iran hanya menerima keuntungan yang sedikit, sementara keuntungan yang besar dinikmati oleh Inggris.
Kemarahan atas ketidakadilan ini berubah menjadi sebuah krisis. Pada 1951, Mosaddegh berkuasa dan menasionalisasi industri minyak Iran. Sebagai aksi balasan, Inggris memberlakukan sanksi minyak terhadap Iran.
Sanksi ini membuat perusahaan-perusahaan besar minyak enggan untuk bekerja sama dengan pemerintah Mossadegh. Produksi minyak Iran mencapai angka nol pada 1952 dari 660.000 barel per hari pada 1950. Tanpa ekspor minyak pada waktu itu, pemerintah Iran mengalami keruntuhan finansial. Ini adalah tujuan yang dikejar oleh Inggris-Amerika.
Para pejabat Washington mendukung sanksi tersebut. Nasionalisasi industri minyak Iran tidak boleh berhasil, karena ini dapat memiliki konsekuensi berbahaya bagi perusahaan minyak AS yang beroperasi di kawasan. Mereka berharap tekanan ekonomi dapat menumbangkan Mossadegh dari kekuasaan.
Pada 18 Maret 2000, Menteri Luar Negeri AS waktu itu, Madeleine Albright dalam sebuah statemen mengatakan, "AS memainkan peran penting dalam mengatur penggulingan Perdana Menteri Iran Mohammad Mossadegh. Pemerintahan Eisenhower percaya tindakannya itu dibenarkan karena alasan strategis, tetapi kudeta itu secara nyata membawa kemuduran bagi proses kemajuan politik Iran. Jadi, tidak mengherankan jika banyak orang Iran masih tidak senang dengan intervensi AS dalam urusan internal mereka."
"Selain itu pada seperempat abad setelah itu, AS dan Barat selalu mendukung rezim Shah. Meskipun pemerintahan Shah melakukan banyak hal untuk kemajuan ekonomi Iran, tetapi ia dengan kejam membungkam oposisi," tambahnya.