Kekuasaan Imran Khan sebagai Perdana Menteri Pakistan berakhir setelah parlemen negara ini memberikan mosi tidak percaya kepadanya. Kursi PM ini akhirnya diduduki kandidat gabungan kubu oposisi Mian Muhammad Shahbaz Sharif yang terpilih pada Senin 11 April 2022.
Menurut Sardar Ayaz Sadiq, yang memimpin sidang parlemen untuk pemilihan PM Pakistan ke-23, 174 anggota parlemen yang beranggotakan 342 orang memilih Shahbaz dibandingkan kandidat dari Partai Tehreek-e-Insaf, Shah Mahmood Qureshi.
Ayaz Sadiq memimpin sesi tersebut setelah Wakil Ketua Majelis Nasional Qasim Khan Suri undur diri dari tugasnya untuk memimpin sidang.
Shah Mahmood Qureshi mengumumkan bahwa Partai Tehreek-e-Insaf memutuskan untuk memboikot proses pemungutan suara dan anggota Majelis Nasional dari partainya akan mengundurkan diri.
Menurut Ayaz Sadiq, mosi tidak percaya yang diajukan aliansi oposisi terhadap Imran Khan merupakan rencana pihak asing. Perkembangan ini terjadi setelah Khan kalah dalam mosi tidak percaya di majelis rendah parlemen pada Minggu 10 April.
Pada 28 Maret, partai-partai oposisi mengajukan mosi tidak percaya terhadap Khan di Majelis Nasional. Khan lengser dari kekuasaan setelah kalah dalam pemungutan suara mosi tidak percaya yang dilakukan oleh parlemen.
Pemungutan suara diadakan lewat tengah malam setelah partai-partai oposisi mengajukan mosi terhadapnya, yang disahkan oleh Mahkamah Agung.
Sidang parlemen dan pemungutan suara untuk mosi tidak percaya terhadap PM Pakistan dimulai pada hari Sabtu. Sidang ini sempat ditunda beberapa kali, dan akhirnya berlangsung pada Minggu (10/4/2022) pagi.
Perwakilan dari Front Gabungan Oposisi Pakistan, yang terdiri dari partai Liga Muslim Pakistan (Nawaz), Partai Rakyat, Jamiat Ulema-e-Pakistan (JUP), Balochistan Awami Party (BAP), The Jamhoori Wattan Party, dan The National Awami Party memberikan suara mendukung untuk mosi tidak percaya terhadap PM Imran Khan.
Dalam pengambilan suara itu, 174 anggota parlemen memberikan suara mendukung mosi tidak percaya terhadap Imran Khan dan 110 lainnya memberikan suara menentang.
Mosi tidak percaya parlemen Pakistan terhadap Imran Khan, yang dia menilai sumber dari semua ini adalah konspirasi asing yang berpusat pada Amerika Serikat untuk merusak kebijakan independen pemerintah Islamabad, diperkirakan akan menimbulkan pergolakan politik dan bahkan akan menciptakan kerusuhan sosial dalam beberapa minggu dan bulan mendatang di Pakistan.
Menurut Imran Khan dan para pejabat senior Partai Tehreek-e-Insaf, pemerintahannya menjadi korban kesepakatan tidak tertulis antara oposisi dan Gedung Putih dan beberapa negara di kawasan dikarenakan mereka menentang ketamakan AS, termasuk tidak menyerahkan sejumlah pangkalan militer Pakistan ke Pentagon setelah pasukan AS meninggalkan Afghanistan serta kunjungan Imran Khan baru-baru ini ke Rusia di tengah perang di Ukraina.
Berbeda dengan periode-periode sebelumnya, dari tahun 2001-2018, Pakistan pada periode Imran Khan (2018-2022) bekerja sama secara hati-hati dengan AS dalam perang di Afghanistan dan berusaha mengambil posisi independen serta mempertimbangkan kepentingan nasional Pakistan ketika mengambil kebijakan.
Tidak seperti di masa lalu, para pejabat Pakistan bekerja sama erat dengan AS dalam perang Afghanistan, namun sekarang dan setelah Imran Khan berkuasa, dia tidak bersedia mengubah negaranya menjadi lingkungan bagi Gedung Putih untuk mengobarkan perang intelijen terhadap negara-negara regional dan negara-negara tetangga.
Tingginya kebencian AS terhadap Imran Khan terjadi setelah dia menolak permintaan Gedung Putih untuk menyerahkan sejumlah pangkalan militer Pakistan ke AS setelah penarikan pasukan negara ini dari Afghanistan.
Ketika sebagian agenda AS di kawasan tidak dilakukan oleh partai berkuasa di Pakistan seperti tahun-tahun sebelumnya oleh pemerintahan sebelum Imran Khan, Gedung Putih menyusun sebuah skenario untuk menggulingkan Imran Khan melalui bantuan partai-partai oposisi.
Secara khusus, Arab Saudi, sebagai sekutu regional AS, juga menganggap kehadiran Imran Khan di arena kekuasaan politik Pakistan bertentangan dengan kepentingannya, oleh karena itu, Riyadh terdorong untuk membantu sekutu tradisionalnya di Pakistan guna menyingkirkan Imran Khan.
Para pakar meyakini bahwa setelah pencopotan Imran Khan, akan dilakukan pembalikan dalam beberapa kebijakan sebelumnya pada periode Imran Khan yaitu perluasan hubungan dengan AS dan Arab Saudi secara politik, mengambil jarak dari Rusia, mengubah pendekatan dalam interaksi dengan Taliban dan bahkan dengan negara-negara tentangga.
Mengingat pecahnya protes oleh pendukung Imran Khan di berbagai kota di Pakistan terhadap campur tangan asing dalam mosi tidak percaya terhadapnya, kemungkinan negara itu akan menghadapi kerusuhan sipil dalam beberapa minggu dan bulan mendatang, terutama karena Imran Khan memiliki kesempatan satu tahun lagi hingga penyelenggaran pemilu parlemen untuk mendapatkan kembali kepercayaan publik dan mengungkap serta mengekspos peran agen asing dalam pencopotan pemerintahannya. (RA)