Sri Lanka adalah salah satu negara di Asia Selatan yang sedang menghadapi krisis ekonomi terburuk sejak memperoleh kemerdekaan dari Inggris pada tahun 1948. Krisis buruk ini mengancam nasib 22 juta penduduk Sri Lanka
Negara ini sebelumnya dilanda krisis ekonomi yang ditandai inflasi selama berbulan-bulan dan pemadaman listrik yang berkepanjangan. Hal ini disebabkan pemerintah kehabisan mata uang asing untuk mengimpor barang-barang vital.
Devisa negara habis disebabkan untuk membayar utang luar negeri dan keperluan lainnya. Sri Lanka paling banyak berutang kepada Cina dan India.
Pada akhir 2021, utang luar negeri Sri Lanka $ 50,72 miliar. Jumlah ini sudah 60,85% dari PDB (Produk Domestik Bruto). Menurut Times of India, total utang Sri Lanka ke Cina mencapai $ 8 miliar (sekitar seperenam dari total utang luar negerinya).
Sumber pemasukan devisa Sri Lanka seperti dari sektor pariwisata juga menurun karena pandemi Covid-19. Masyarakat menderita dan menyalahkan pemerintah yang dianggap tak becus.
Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa akhirnya setuju untuk mengundurkan diri di tengah kekacauan negara akibat krisis ekonomi terburuk. Unjuk rasa meluas, dan rumah dan kantor presiden telah diserbu dan rumah perdana menterinya dibakar.
Perdana Menteri Ranil Wickremesinghe juga telah mengatakan pada pertemuan para pemimpin partai bahwa dia akan mengundurkan diri segera setelah pemerintahan semua partai yang baru dibentuk. (RA)