Taiwan menggelar manuver militer pada Selasa (9/8/2022) setelah Cina melakukan hal serupa selama berhari-hari pekan lalu. Manuver militer Taiwan dimulai dengan latihan tembakan langsung artileri yang mensimulasikan pertahanan pulau itu dari serangan musuh.
Juru bicara Korps Ke-8 Angkatan Darat Taiwan Lou Woei-jye membenarkan bahwa latihan telah dimulai di wilayah selatan Pingtung tak lama setelah pukul 00.40 GMT dengan menembakkan suar dan artileri terhadap target.
Cina mengelar latihan perang terbesarnya di sekitar Taiwan pekan lalu sebagai respons marah atas kunjungan Ketua DPR Amerika Serikat (AS) Nancy Pelosi ke Taiwan.
Taiwan telah memerintah sendiri sejak 1949 atau setelah perang saudara Cina berakhir. Namun, Beijing masih menganggap pulau itu bagian tak terpisahkan dari Cina dan mengancam akan menggunakan kekuatan militer untuk menundukannya.
Taiwan menolak model "satu negara, dua sistem" yang diusulkan Cina dan memilih melawan segala bentuk intimidasi Beijing.
Kementerian Luar Negeri Taiwan pada Kamis (11/8/2022) mengumumkan penolakan usulan Cina tersebut ketika militernya menggelar latihan tembak artileri lagi.
Di sisi lain, dalam sebuah pernyataan, Komando Timur Militer Cina menyinggung misi latihan di sekitar Pulau Taiwan dan menegaskan bahwa pasukan negara ini siaga dan siap untuk berperang.
Menurut Komando Timur Militer Cina, pasukan negara itu akan memantau dengan cermat perkembangan di Selat Taiwan, melakukan patroli rutin, dan melanjutkan latihan militer untuk siap perang.
Pemerintah Cina menegaskan bahwa tujuan Beijing menggelar latihan militer di sekitar Pulau Taiwan adalah untuk memperingatkan Amerika Serikat (AS) dan memberi pelajaran kepada separatis Taiwan.
Beberapa kapal Angkatan Laut Cina terus melakukan misi di pantai timur Taiwan, yang menyebabkan kapal-kapal perang Taiwan berbaris untuk melawan mereka.
Rencana militer Cina untuk tetap menggelar latihan militer di Selat Taiwan baru-baru ini, bahkan setelah berakhirnya latihan militer ini sesuai dengan jadwal yang diterbitkan sebelumnya, menunjukkan bahwa ketegangan dalam hubungan antara Beijing dan Taipei terus berlanjut. Situasi ini mungkin juga akan berlanjut hingga beberapa bulan ke depan, dan akan membayangi hubungan keduanya.
Ketegangan hubungan Cina-Taiwan mencapai puncaknya setelah Ketua DPR AS Nancy Pelosi mengunjungi Taipei beberapa hari lalu dan berbicara dengan beberapa pejabat Pulau Taiwan. Lawatan tersebut merupakan sebuah langkah kontroversial yang bertentangan dengan Prinsip Satu Cina (Satu Negara).
Militer Cina menggelar latihan di Selat Taiwan bersamaan dengan kunjungan Pelosi ke Taiwan, yang menurut pejabat Beijing, manuver ini merupakan peringatan bagi Gedung Putih dan pelajaran terhadap separatis Taiwan.
Mengingat konflik antara Cina dan Taiwan terus berlanjut, timbul pertanyaan , sampai kapan ketegangan yang dapat mengalihkan sebagian fokus ekonomi Cina ini akan berlanjut? Dan dalam konteks apa normalisasi hubungan mereka akan berlangsung?
Kharis Templeman, pakar ilmu politik dari Universitas Stanford, mengatakan, pemulihan keseimbangan yang stabil antara Cina dan Taiwan membutuhkan diplomasi yang rumit. Saya tidak tahu bagaimana konfrontasi ini pada akhirnya, tetapi saya pikir kita akan mengalami beberapa minggu yang sulit ke depan.
Ada pandangan bahwa kebijakan Cina untuk secara tegas menghadapi separatis di Taiwan dan para pelanggar Satu Cina di tingkat regional dan internasional adalah strategi yang telah dimasukkan oleh pejabat senior Beijing dalam agenda untuk melindungi otoritas nasionalnya, yang bagian utamanya adalah mengirim pesan ke AS tentang segala upaya untuk mengaburkan garis merah Beijing.
Harsh V Pant, analis kebijakan luar negeri dari Observer Research Foundation, mengatakan, Presiden Xi Jinping tidak ingin dilihat sebagai pemimpin yang menunjukkan tanda-tanda kelemahan saat memasuki masa jabatan ketiga yang belum pernah terjadi sebelumnya, dan ingin namanya tercatat dalam sejarah sebagai pemimpin yang menyatukan Taiwan. Oleh karena itu, biaya untuk Taiwan tentu saja akan meningkat.
Tampaknya ketegangan antara Cina dan Taiwan tidak akan melampaui level saat ini, karena kelanjutan konflik ini dapat menyebabkan kerugian besar bagi Beijing, yang memiliki persaingan ekonomi yang serius dengan AS.
Sementara Taiwan juga tidak siap untuk menghadapi konsekuensi tak terduga dari setiap upaya yang menyebakan meningkatnya kemarahan Cina. (RA)