Sejumlah kota di Irak, terutama di ibu kota negara ini, Baghdad, dilanda kerusuhan yang dimulai pada Senin sore, 29 Agustus 2022. Para pendukung Gerakan Sadr juga menduduki Istana Kepresidenan Irak.
Baghdad dan sejumlah kota lainnya dilanda kekeacauan setelah Pemimpin Gerakan Sadr, Moqtada Sadr mundur dari panggung politik pada Senin (29/8/2022).
Para pendukung Sadr turun ke jalan-jalan dan menyerbu Zona Hijau di Baghdad dan bentrok dengan aparat keamanan. 30 orang dilaporkan tewas dan 700 lainnya, termasuk 110 pasukan keamanan, terluka.
Marja' Taklid Syiah Irak Ayatullah Sayid Kazem Husseini al-Hairi dalam pernyataannya pada hari Senin (29/8/2022) mengumumkan bahwa dia menarik diri sebagai Marja' Taklid Syiah disebabkan lemahnya fisik dan sedang menderita sakit.
Sayid Husseini al-Hairi yang memiliki banyak pengikut dari pendukung Gerakan Sadr Irak ini secara implisit mengkritik langkah-langkah Moqtada Sadr yang menciptakan kekacauan dan ketidakamanan di Irak.
"Siapa pun yang ingin menggunakan nama dua Syuhada Sadr untuk menciptakan perselisihan di antara orang-orang Irak, sementara dia juga tidak memiliki derajat (level) ijtihad dan syarat-syarat lain yang diperlukan dan ingin mengambil alih kepemimpinan Syariah, maka dia bukan dari Sadr," kata Ayatullah Husseini al-Hairi.
Pernyataan ini langsung ditanggapi oleh Moqtada Sadr. Pemimpin Gerakan Sadr ini dalam sebuah pernyataan mengkritik keras Ayatullah al-Hairi, dan mengumumkan pengunduran dirinya dari panggung politik Irak. Pernyataan pengunduran diri ini pernah dilakukannya namun tidak ada komitmen atas pernyataaan seperti itu.
Langkah Moqtada Sadr telah memicu unjuk rasa dan kerusuhan yang dilakukan oleh para pendukungnya, terutama di Baghdad yang telah menyebabkan puluhan orang tewas dan ratusan lainnya terluka. Ada tiga poin penting dalam kekacauan di Irak:
Pertama, sudah dapat diprediksi bahwa Moqtada Sadr akan menggiring perkembangan Irak menuju kekacauan dan ketidakamanan. Penarikan dirinya dari aktivitas politik Juni lalu bukan dengan tujuan mengizinkan kelompok-kelompok politik untuk mengeluarkan Irak dari kebuntuan politik, tetapi dengan tujuan menekan lawan dan mencegah terbentuknya tatanan politik baru dengan memanfaatkan demonstrasi dan kerusuhan jalanan.
Penyerbuan terhadap Parlemen dan Dewan Tinggi Kehakiman dalam beberapa pekan terakhir juga ke arah yang sama. Moqtada Sadr menganggap kepentingannya lebih cepat dicapai melalui kekacauan.
Dalam pernyataan pada hari Senin, Moqtada Sadr mengumumkan pengunduran dirinya dari kancah politik Irak, tetapi dia tidak meminta pendukungnya untuk menahan diri dan tidak membuat kerusuhan. Dengan kata lain, pernyataan Moqtada Sadr secara implisit menyerukan demonstrasi, kekacauan dan tindakan anarkis di Irak.
Kedua, setidaknya dalam seminggu terakhir ini, Moqtada Sadr melakukan manuver-manuver di Irak sehingga secara praktis menyebabkan kehilangan sekutu politiknya. Penyerbuan terhadap Dewan Tinggi Kehakiman dan inisiatif baru yang menyerukan pengunduran diri semua gerakan dan aliran politik yang berkuasa di Irak sejak 2003 adalah dua faktor yang menyebabkan sekutu Kurdi dan Sunni Moqtada Sadr mengkritik tindakannya.
Kritik terhadap Sadr oleh Ayatullah al-Hairi juga meningkatkan tekanan padanya dan dia praktis melihat dirinya dalam posisi lemah dan dikalahkan, dan hal ini tidak bisa diterima oleh Moqtada Sadr.
Dan ketiga, tindakan Moqtada Sadr dan pendukunganya yang mengubah Irak menjadi arena konflik internal bukanlah masalah yang dapat diterima oleh kelompok-kelompok dan tokoh resmi Irak, termasuk mantan sekutu Sadr.
Dan hanya kelompok-kelompok yang berseberangan seperti Partai Baath dan gerakan-gerakan menyimpang lainnya, termasuk para simpatisan kelompok teroris Daesh (ISIS) yang mengambil manfaat dari situasi di Irak sekaran.
Yang pasti, aksi jalanan dan kekacauan yang diciptakan tidak akan bisa memenuhi kepentingan Gerakan Sadr, dan hanya rakyat Irak yang menjadi korban utama dari sikap keras kepala gerakan tersebut, bahkan aksi seperti ini akan menjadi bahaya serius bagi keutuhan wilayah Irak. (RA)