Jerman bangga atas kebijakan ekspornya yang ketat, dan melarang penjualan senjata ke negara-negara yang terlibat konflik bersenjata. Namun laporan terbaru menunjukkan sebaliknya.
Jerman setelah melarang ekspor senjata ke Arab Saudi sebenarnya masih menjual senjata ke negara Arab yang memimpin perang di Yaman ini.
Setelah pembunuhan jurnalis Jamal Kashoggi, yang diduga dilakukan oleh Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman, pemerintah Jerman memberlakukan larangan ekspor senjata ke Arab Saudi pada November 2018. Pers dan politisi Jerman mengutuk pelanggaran hak asasi manusia Arab Saudi dan menuduh Presiden AS Donald Trump mendukung rezim Al Saud.
Surat kabar harian nasional Jerman, Die Welt menyebutkan bahwa larangan tersebut benar terjadi, namun di balik layar, proses jual beli senjata Jerman ke Arab Saudi masih berlangsung melalui negara lain.
Disebutkan bahwa ekspor senjata ke Arab Saudi saat ini kontroversial, bukan hanya karena situasi hak asasi manusia di kerajaan otoriter, tetapi di atas semua itu karena perannya dalam perang Yaman. Selama lebih dari lima tahun, Arab Saudi telah memimpin aliansi negara-negara Arab berperang di Yaman dan memicu salah satu krisis kemanusiaan terburuk di dunia.
Ditambahkan pula bahwa pada Maret 2018, Sosial Demokrat dan Persatuan menyetujui dalam perjanjian koalisi tentang penghentian ekspor senjata untuk semua negara "secara langsung" yang terlibat dalam perang Yaman, tetapi membiarkan beberapa "pintu belakang" terbuka. Larangan ekspor penuh ke Arab Saudi hanya diberlakukan pada November 2018 setelah pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi.
Tapi seperti yang terungkap, bahkan larangan ini memiliki "pintu belakang." Penentangan Jerman terhadap pelanggaran hak asasi manusia Arab Saudi tidak serius. Pemerintah Jerman secara tidak langsung telah berkontribusi dalam pengiriman senjata ke Arab Saudi sejak awal 2019 dengan mengizinkan Prancis mengekspor persenjataan buatan Jerman senilai $ 5,7 juta. Jerman juga menyetujui pengiriman dari Korea Selatan ke Arab Saudi pada tahun tersebut.
Pada 2019 dan 2020, Jerman mengesahkan tiga izin ekspor kolektif untuk pengiriman suku cadang untuk jet tempur Eurofighter dan Tornado yang ditujukan untuk Arab Saudi. Kedua pesawat tersebut merupakan produk gabungan Eropa. Maret lalu, larangan kembali dilonggarkan untuk memungkinkan pengiriman produk gabungan dari negara mitra ke Arab Saudi.
Politisi sayap kiri Jerman, Sevim Dagdelen, menyebut larangan ekspor itu sebagai "penipuan besar". Dia mengatakan, perangkat lunak, teknologi, dan komponen lain untuk jet tempur yang digunakan dalam perang kriminal di Yaman dipasok melalui negara lain.
Fakta bahwa pernyataan Jerman tidak bisa dipercaya bukan hal baru. Pada Juli tahun lalu, Institut Riset Perdamaian Frankfurt menemukan bahwa ekspor senjata Jerman telah melanggar peraturan Uni Eropa selama tiga dekade. Laporan tersebut menyatakan bahwa "Jerman melisensikan dan mengekspor senjata perang dan persenjataan ke negara-negara yang terkena dampak perang dan krisis, ke negara-negara dengan pelanggaran hak asasi manusia, dan ke wilayah ketegangan."
Arab Saudi dengan dukungan Amerika Serikat bersama dengan beberapa negara lainnya melancarkan agresi militer ke Yaman sejak tanggal 26 Maret 2015. Invasi militer ini telah menyebabkan rakyat Yaman menghadapi tragedi kemanusiaan terburuk dalam beberapa dekade terakhir.
Invasi militer ke Yaman dan dukungan kekuatan-kekuatan besar Barat kepada pasukan koalisi dan bungkamnya lembaga-lembaga internasional atas kejahatan pasukan koalisi adalah faktor utama tragedi kemanusiaan di Yaman.
Jet-jet tempur Arab Saudi sejak awal invasi, menarget berbagai infrastruktur vital di berbagai daerah dan kota di Yaman. Pemboman yang dilancarkan hampir setiap hari itu telah menyebabkan lebih dari 100.000 orang tewas, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Serangan tersebut juga menyebabkan puluhan ribu warga Yaman terluka dan lebih dari tiga juta dari mereka terpaksa mengungsi. Lebih dari 80 persen insfrastruktur Yaman, terutama di sektor kesehatan, luluh lantak.
Blokade darat, laut dan udara oleh pasukan koalisi pimpinan Arab Saudi juga melipatgandakan penderitaan rakyat Yaman. Rezim Al Saud merupakan pemain utama yang menciptakan tragedi kemanusiaan di Yaman.
Blokade menyeluruh terhadap Yaman selama enam tahun terakhir telah memperburuk tragedi kemanusiaan di negara Arab ini. Pelarangan masuknya kapal-kapal pengangkut bahan bakar ke Yaman juga menimbulkan dampak buruk bagi masyarakat di negara ini.
Anak-anak Yaman kehilangan nyawa mereka karena blokade, kekurangan gizi dan kurangnya obat-obatan yang dibutuhkan akibat berlanjutnya perang yang dikobarkan Arab Saudi.
Anak-anak Yaman menghadapi masalah malnutrisi yang meningkat akibat perang yang disulut Arab Saudi dan pembatasan akses terhadap makanan dan obat-obatan.
Dana Anak-Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF) dalam laporan terbarunya mengatakan bahwa tingkat kekurangan gizi akut yang menimpa anak di beberapa daerah Yaman mencapai tingkat tertinggi lebih dari 10 persen pada tahun 2020.
Menurut UNICEF, setidaknya 325.000 anak di bawah usia lima tahun di Yaman menderita kekurangan gizi parah dan lebih dari 12 juta anak Yaman membutuhkan bantuan kemanusiaan. (RA)