Tanggal 24 April 1980 menjadi sejarah kegagalan memalukan militer Amerika Serikat (AS) dalam operasinya di Iran. Pada tanggal 5 Ordibehesht 1359 Hijriyah Syamsiah (24 April 1980), 6 pesawat dan 8 helikopter AS menyusup ke wilayah Iran dengan alasan membebaskan 53 sandera di Tehran.
Namun, tujuan asli agresi itu adalah melaksanakan skenario kudeta militer dan menggulingkan sistem Republik Islam Iran yang baru berdiri, yang bangkit menentang hegemoni AS.
Pada 4 November 1979, AS membentuk unit Delta Force yang terdiri dari 132 personel terlatih untuk menyerang Iran dan membebaskan para sendera. Agresi militer AS di Gurun Tabas ini dilancarkan dengan sandi Operation Eagle Claw.
Ketika sedang mengudara di wilayah Iran, salah satu helikopter mengalami kerusakan teknis di 120 km Kerman dan terpaksa mendarat. Seluruh awaknya kemudian menumpang helikopter lain. Helikopter kedua ini pada akhirnya juga mengalami kendala teknis dan terpaksa kembali ke kapal induk.
Namun, 6 pesawat dan 6 helikopter lainnya berhasil sampai di Gurun Tabas dan mendarat di daerah terpencil ini di kegelapan malam. Sialnya, sebuah helikopter lain mengalami gangguan teknis ketika mengisi bahan bakar dan ketika misi utama belum dijalankan, tiga helikopter telah berkurang.
Setelah menerima informasi dari pusat komando, Presiden AS waktu itu, Jimmy Carter memerintahkan pembatalan operasi dan meminta pasukan kembali ke markas. Tapi ketika pesawat dan helikopter mulai mengudara, tiba-tiba terjadi badai pasir. Pesawat C-130 dan helikopter CH-53 terbakar setelah bertabrakan di udara. Dalam insiden itu, delapan personel AS tewas terbakar dan empat helikopter gagal terbang dan ditinggalkan. Sisa pasukan Amerika meninggalkan Tabas dengan lima pesawat tersisa dan kembali ke kapal induk USS Nimitz.
Pasukan komando AS ini sebelumnya dikirim ke Arizona dan menjalani latihan keras di wilayah yang mirip dengan Gurun Tabas, Iran. Latihan ini untuk mempersiapkan mereka menghadapi medan sulit dan siap melancarkan operasinya.
Namun, Operation Eagle Claw berubah menjadi neraka yang membakar pasukan AS di Gurun Tabas dan operasi ini berakhir dengan kegagalan total. Menteri Pertahanan AS waktu itu, Harold Brown mengatakan, "Delapan tentara Amerika tewas dalam operasi gagal Tabas dan para sandera belum dibebaskan hingga Ronald Reagen menjabat presiden pada Januari 1981."
Peristiwa Tabas kembali menguak sifat agresor Amerika. Namun demikian skandal ini bukan akhir dari agresi negara itu. AS tidak belajar dari kegagalan di Tabas dan terus mengobarkan permusuhan terhadap Iran dengan berbagai cara.
Saat ini AS mengadopsi kebijakan untuk mengucilkan Iran dengan membentuk koalisi dan kampanye anti-Tehran. Mengesankan Iran sebagai ancaman bagi tetangganya dan bahkan Eropa telah menjadi sebuah tujuan strategis bagi AS.
Tetapi, AS dengan kemunafikannya telah menyebabkan ketegangan, konflik, serta penyebaran terorisme dan ekstremisme di wilayah Asia Barat (Timur Tengah). Kebijakan keliru yang diadopsi AS selama beberapa dekade terakhir, mendorong Donald Trump untuk berkata, "AS telah menghabiskan 7 triliun dolar di kawasan tanpa mencapai apapun." Tentu saja Trump melanjutkan jalan salah yang sama.
AS mengambil banyak langkah untuk merusak stabilitas regional dan mengusik Iran seperti, memberlakukan kontrol ilegal terhadap kebebasan navigasi di kawasan, memperkuat armada tempurnya serta mengerahkan pasukan dan peralatan militer di Suriah dan Irak.
AS memperkenalkan dirinya sebagai pendukung bangsa Iran ketika negara itu justru meningkatkan tekanan terhadap rakyat Iran. Sebagai contoh, Washington menentang pengiriman bantuan medis internasional kepada Tehran dan menghalangi negara ini mengimpor peralatan medis untuk melawan pandemi Virus Corona.
Langkah ini menunjukkan bahwa kebijakan konfrontatif AS terhadap Iran semakin kehilangan akal sehat. Demi memperlihatkan taringnya, negara adidaya ini rela melakukan tindakan anti-kemanusiaan yang paling bawah sekalipun yaitu melarang pengiriman obat-obatan dan bahan pangan ke Iran. AS memanfaatkan momen penyebaran virus Corona di Iran untuk meningkatkan tekanannya dengan tujuan strategis menggulingkan rezim.
Iran – di tingkat regional dan internasional serta dari segi ekonomi – bukanlah sebuah negara yang lemah. Sebaliknya, Amerika-lah yang berada pada posisi yang pasif.
Para pejabat AS tidak pernah berhenti memusuhi bangsa Iran dan sistem Republik Islam selama 14 tahun terakhir. AS mulai memperlihatkan permusuhannya terhadap bangsa Iran sejak kemenangan revolusi. Negara itu melakukan berbagai cara untuk menumbangkan sistem Republik Islam termasuk, intervensi militer, aksi kudeta, dukungan kepada rezim Saddam untuk menyerang Iran, serta mengganggu keamanan perbatasan Iran dengan membentuk dan mendukung kelompok-kelompok teroris.
AS mengesankan Iran sebagai pembuat onar di kawasan dan mencoba merusak hubungan Tehran dengan negara-negara regional. Sejalan dengan misi itu, Washington memasukkan Korps Garda Revolusi Islam Iran (IRGC) dalam daftar organisasi terorisme. Padahal, IRGC selalu membela bangsa Iran dan keamanan regional pada kondisi yang paling sulit sekali pun.
Pada 3 Januari 2020, AS dalam sebuah tindakan terorisme membunuh Komandan Pasukan Quds Iran, Letnan Jenderal Qasem Soleimani dan rekan-rekannya di dekat Bandara Internasional Baghdad.
Mereaksi kejahatan itu, IRGC pada 8 Januari menembakkan 13 rudal ke pangkalan militer Amerika, Ain al-Assad di Provinsi al-Anbar, Irak. Republik Islam Iran tidak pernah menjadi pihak yang memulai perang, tetapi jika terancam dan diserang, ia siap membela keamanannya dengan penuh kekuatan.
Dalam sebuah aksi provokatif pada Juni 2018, AS menerbangkan sebuah drone mata-mata ke wilayah udara Iran. Namun, drone Global Hawk ini ditembak jatuh oleh pasukan udara IRGC di wilayah Kuh-e Mubarak, Provinsi Hormozgan.
Televisi CNN menyatakan AS telah mendapatkan salah satu pelajaran yang paling penting di ketinggian 22 ribu kaki.
Koresponden senior CNN, Nick Walsh dalam tulisannya dengan judul "What shooting down a $110M US drone tells us about Iran" mengatakan bahwa ini merupakan bukti nyata dari meningkatnya kemampuan militer Iran.
Analis Timur Tengah dan Afrika Utara di Jane's Defense Weekly, menuturkan, "Mereka berhasil. Insiden itu menunjukkan bahwa ketika Iran benar-benar melakukan investasi, ini benar-benar harus diperhitungkan. Kami tahu tentang rudal balistik mereka, tetapi sepertinya kondisi sistem pertahanan udara mereka juga seperti itu."
"Beberapa tahun yang lalu ini akan menjadi kejutan, tetapi sekarang perlengkapan pertahanan udara baru mereka terlihat jauh lebih mengesankan," tambahnya.
Pemerintah AS – demi mencapai target kebijakannya dan memaksa Iran untuk bernegosiasi – mencoba mengisolasi Iran di bawah tekanan politik dan ekonomi yang sangat kuat, tetapi Republik Islam bukanlah sebuah negara yang lemah.
Pada dasarnya, perilaku dan cara usang ini memperlihatkan bahwa pemerintah AS masih berpikiran seperti 40 tahun lalu dan terperangkap dalam ilusi petualangan di Gurun Tabas, yang mengakibatkan kekalahan memalukan bagi Washington.
Saat ini para pejabat AS berada dalam posisi pasif, dan dengan berbagai retorika yang agresif, berusaha mengesankan bahwa mereka menguasai situasi, padahal jalan yang mereka tempuh justru jalan buntu.
Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, Ayatullah al-Udzma Sayid Ali Khamenei dalam sebuah pidato, mengatakan kemajuan revolusi di tengah konspirasi anti-Republik Islam selama 40 tahun, adalah bukti dari ketidakmampuan AS dalam menghentikan gerakan bangsa Iran.
"Musuh Iran telah menerapkan berbagai tekanan politik, ekonomi, dan propaganda luas terhadap bangsa ini selama 40 tahun, tapi mereka tidak mampu berbuat apa-apa bahkan ketika Republik Islam baru berdiri," ungkapnya.
Ayatullah Khamenei menjelaskan AS, Eropa, dan bahkan Uni Soviet telah mengambil tindakan apapun yang mereka mampu untuk melawan Iran selama 40 tahun ini, tapi mereka gagal. Tentu saja aksi mereka menimbulkan gangguan dan kerugian, namun mereka tidak mampu menghentikan gerakan dan kemajuan Republik Islam. (RA)