Pendudukan rezim Zionis Israel terhadap Palestina telah berlangsung lebih dari setengah abad dan telah menciptakan penderitaan berkepanjangan bagi rakyat Palestina serta membawa kehancuran bagi kehidupan mereka.
Menurut Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA), pada tahun 2020, 689 bangunan dan rumah warga Palestina di Tepi Barat dan al-Quds Timur telah dihancurkan oleh otoritas Israel dengan dalih tudak punya izin. Kebijakan seperti ini juga menyebabkan 869 warga Palestina kehilangan tempat tinggal.
Pembongkaran dan penghancuran rumah merupakan cara utama untuk memaksa warga Palestina meninggalkan rumah dan tanah mereka. Israel juga membangun distrik-distrik Zionis secara besar-besaranya untuk menampung imigran Yahudi.
Pada 2018, ada 611.000 pemukim Zionis yang tinggal di 250 permukiman di Tepi Barat yang diduduki, termasuk al-Quds Timur. Permukiman yang dibangun ini adalah ilegal dan bertentangan dengan hukum internasional.
Pemukiman terbesar, Modi'in Illit, menampung lebih dari 70.000 orang Yahudi di Tepi Barat yang diduduki. Mega-pemukiman memiliki wali kota sendiri, sekolah, pusat perbelanjaan, dan pusat kesehatan. Beberapa permukiman bahkan memiliki universitas sendiri.
Pada tahun 2020, Masyarakat Tahanan Palestina (PPS) melaporkan bahwa lebih dari 400 anak laki-laki dan perempuan Palestina di bawah usia 18 tahun telah ditangkap oleh pasukan Israel dan menjadi sasaran berbagai pelanggaran hak di penjara.
Sejak 2015, Israel telah mengeluarkan undang-undang baru yang melegalkan pemberian hukuman penjara yang lama bagi anak-anak, dalam beberapa kasus hingga penjara seumur hidup.
Menurut PPS, Israel telah menangkap sekitar 7.000 anak sejak 2015. Sekitar 4.400 warga Palestina, termasuk 39 wanita, 155 anak-anak dan 700 pasien sakit, ditahan di fasilitas penahanan Israel.
Dalam laporan tahunannya pada 2019, PPS menyebutkan bahwa anak-anak yang ditangkap Israel mengalami banyak pelanggaran hak. Tercatat bahwa anak-anak yang ditangkap dirampas haknya atas pendidikan, pelanggaran yang jelas terhadap Deklarasi Hak Anak, dan beberapa anak ditolak kunjungan keluarga dan perawatan medis yang layak.
Pandemi Virus Corona telah meningkatkan perhatian pada penderitaan anak-anak Palestina di penjara-penjara Israel. Pelanggaran terus-menerus Israel atas hak-hak dasar warga Palestina di penjara, termasuk penyiksaan, penindasan, penyerangan, dan penolakan perawatan medis yang tepat, telah lama menjadi sorotan.
Di sisi lain, Badan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengkritik Israel atas pembunuhan para pengunjuk rasa di Jalur Gaza dan perlakuan terhadap orang-orang Palestina.
Jumlah korban yang tinggi di perbatasan Gaza memicu reaksi diplomatik terhadap Israel dan tuduhan baru atas penggunaan kekuatan yang berlebihan terhadap pengunjuk rasa yang tidak bersenjata. Tentara Israel telah membunuh 25 anak Palestina di Tepi Barat yang diduduki dan Gaza yang diblokade pada tahun 2018.
Pertahanan untuk Anak Internasional Palestina yang mengadvokasi hak-hak anak-anak Palestina di wilayah Palestina yang diduduki Israel, menegaskan bahwa pasukan Israel telah sengaja membunuh anak di bawah umur dengan peluru tajam selama protes di perbatasan.
Menurut LSM tersebut, korban tewas ini termasuk 21 anak yang menjadi sasaran langsung, 11 di antaranya ditembak di kepala atau leher. Menurut Dana Anak-anak PBB (UNICEF), lebih dari 1.000 anak terluka oleh pasukan Israel di Gaza yang terkepung selama demonstrasi Hak Kepulangan Palestina.
Meski demikian, penindasan dan penderitaan yang dialami rakyat Palestina tidak pernah memadamkan semangat mereka untuk berjuang demi meraih kemerdekaan. Mereka tidak mengenal kata menyerah dalam upaya untuk meraih hak-haknya. (RA)