Wakil Presiden Amerika Serikat (AS) Kamala Harris mengunjungi Korea Selatan (Korsel) dan tiba di pangkalan udara Osan pada hari Kamis (29/9/2022).
Harris akan bertemu dengan Presiden Korea Selatan Yoon Suk-yeol dan mengunjungi zona demiliterisasi (DMZ) yang memisahkan dua Korea. Langkah ini tentunya akan memicu kemarahan Korea Utara (Korut).
Kemarahan Korut belum mereda sejak Ketua DPR AS Nancy Pelosi mengunjungi perbatasan pada bulan Agustus. Pyongyang menyebut Pelosi sebagai perusak perdamaian internasional terburuk.
Sementara itu, Harris dan Yoon membahas aliansi keamanan jangka panjang, kemitraan ekonomi dan teknologi yang berkembang, dan berbagai masalah regional dan global lainnya.
Kunjungan Harris ke Korsel sebagai kelanjutan lawatan pejabat politik dan anggota DPR AS ke Seoul mengindikasikan upaya Washington untuk terus mengobarkan ketegangan dan kekacauan keamanan di Semanjung Korea dan Asia Timur.
Alasan seluruh kunjungan ini adalah memperkuat hubungan Washington dengan Seoul, dan memberi jaminan kepada Korsel untuk membela diri dari setiap konfrontasi keamanan potensial dengan Korut. Sementara itu, perilkau AS di kawasan Asia Timur sepenuhnya provokatif dan memicu ketegangan.
Latihan maritim gabungan dan siber yang digelar antara AS dan Korsel serta dorongan kepada negara ini untuk berkerja sama dengan Organisasi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) sebagai lengan militer Barat bersama dengan penempatan ribuan militer dan sistem rudal termasuk THAAD di Korsel menjadi poin yang bisa menjadi perhatian dalam hal ini.
Lu Chao, pakar keamanan di Beijing terkait hal ini mengatakan, meski Korsel seperti Jepang tidak terlibat dalam kebijakan anti-Beijing yang dipimpin AS, namun kerja sama penuh militer dan keamanan Korsel dengan Amerika selain dapat mengobarkan instabilitas dan ketegangan di kawasan, juga akan berdampak negatif terhadap hubungan negara-negara kawasan.
Salah satu alasan terpenting kunjungan beruntun pejabat AS ke Korsel adalah upaya untuk memenuhi keretakan potensial antara kedua pihak yang terjadi di era Mantan presiden AS Donald Trump. Harris meminta mitranya termasuk Korsel untuk membayar sekitar lima miliar dolar pertahun untuk biaya keamanan, di mana permintaan ini sedikit banyak memiliki dampak negatif terhadap hubungan Seoul dan Washington.
Kehadiran Wapres AS di zona penyangga antara Korsel dan Korut tentunya akan memicu kemarahan dan respons keras dari Pyongyang.
Scott Snyder, pakar isu-isu Asia Timur di Amerika terkait hal ini mengatakan, salah satu tujuan AS adalah menutupi keretakan potensial dalam hubungannya dengan Korsel pada era Trump karena upayanya untuk meraih hak jaminan keamanan Korsel. Pasalnya, kebijakan Trump ini membuka celah di kalangan faksi pro-kemerdekaan negeri ini untuk menentang pengalihan keamanan ke AS.
Bagaimana pun juga kunjungan Harris ke Seoul setelah kunjungan terbaru Nancy Pelosi mengindikasikan tekad kubu Demokrat Amerika untuk memanfaatkan propaganda kebijakan anti-Cina pada pemilu sela mendatang di negara ini.
Sementara itu, Korsel dan bahkan Jepang dengan baik menyadari bahwa jika muncul potensi perang di kawasan, mereka akan sangat rentan dan peralatan perang AS yang ditempatkan di Korsel juga tidak mampu menjadi tameng yang tepat untuk melindungi negara ini. (RA)